Bulan
Masih Bersinar
Aku masih
terdiam di atas ranjangku sendirian. Aku duduk bersila sambil bermain handphone di tanganku. Aku masih
cemberut. Dengan rasa penuh kesepian dan kebencian. Inilah aku. Aku anak ketiga dari tiga
bersaudara. Akulah si bungsu. Satu-satunya si bungsu yang paling berbeda dari kedua
kakakku. Jujur, aku merasa diperlakukan berbeda daripada kedua kakakku.
“Loh… Bulan dimana Mas? Dia enggak ikut
ngobrol di sini?” remang-remang aku mendengar suara Bibiku di ruang tamu.
Rumahku memang tidak besar. Hanya rumah sederhana yang ruangan satu dengan yang
lain saling berseberangan. Jadi, setiap ada obrolan di ruang tamu aku bisa
mendengarnya dengan jelas.
“Oooo…. Dia di kamarnya. Palingan juga, dia
sudah tidur.” Aku mendengar jawaban dari ibuku.
Mereka pikir
aku sudah tidur. Padahal aku mendengar seluruh obrolan mereka malam itu.
obrolan Ayah, Ibu, Bibi dan Kakak perempuanku, Dara. Sedangkan Kakak
laki-lakiku sekarang sudah tinggal menyendiri bersama istri dan anaknya.
Aku sendiri
belum lama lulus SMA dengan nilai yang tidak memuaskan seperti yang diinginkan
orangtuaku. Yang paling menyakitkan hatiku, mereka selalu menyindirku tentang
nilaiku yang tidak memuaskan di sekolah. Membanding-bandingkan nilaiku dengan
Kak Dara yang selalu sempurna. Yang selalu mendapat rangking di sekolahnya.
Seperti obrolan mereka pada malam ini. sungguh mereka tidak memikirkan
bagaimana perasaanku jika aku mendengar ucapan mereka. Mereka tidak peduli
apakah aku masih terjaga atau sudah terlelap. Yang mereka pikirkan hanyalah
memuaskan batin mereka, melampiaskan kekecewaan mereka memiliki anak sepertiku.
“Dara sebentar lagi akan mendapatkan gelar S2
nya. Yah… Semoga saja nanti dia akan segera menjadi Pengacara yang hebat….
Hahaha…. “ kata Ibuku penuh semangat.
Semua obrolan
mereka pada malam itu, tentang Kak Dara. Tidak ada kebanggaan yang mereka
rasakan dari anak sepertiku. Aku memang lemah dalam pelajaran. Yang aku sukai adalah
musik dan seni. Tapi, Ayah dan Ibuku ingin aku menjadi dokter. Keinginan mereka
untuk menjadikan Kak Dani sebagai Polisi pun sudah terwujud. Dan prestasi Kak
Dara yang selalu mereka banggakan, membuat mereka selalu optimis Kak Dara akan
menjadi pengacara sesuai keinginan mereka. Meskipun aku terbukti anak kandung
mereka, tapi aku merasa dianak tirikan oleh mereka.
“Bagaimana dengan Bulan? Dia kan sudah lulus?
Mau kuliah dimana dia?” aku mendengar suara bibiku lagi.
“Haaah…..” terdengar keluhan panjang dari
Ibuku. “Kami tidak terlalu berharap
padanya. Dia anak yang paling menjengkelkan kami. Gayanya seperti laki-laki,
sukanya memetik gitar dan memukul-mukul Drum, atau kalau enggak keluyuran
enggak jelas sama teman-temannya. Mau jadi apa anak itu…. seharusnya dia itu
mencontoh kakak-kakaknya.”
Aku menahan air
mata yang hampir menetes di wajahku. Aku sudah tidak kuat lagi mendengarkan
mereka. Akhirnya aku putuskan untuk tidur. Meskipun air mataku masih mengalir.
*********
Melepaskan
penat yang semakin menggunung di kepalaku, aku pergi bersama Cika sahabatku di
sebuah lapangan sepakbola dekat rumah Cika. Banyak anak-anak kecil yang bermain
di sana. Aku pun menceritakan kepada Cika apa yang aku alami semalam. Kepada
Cika pulalah aku menceritakan semua ganjalan hati dan ketidak adilan orangtuaku
memperlakukan anaknya. Sangat sakit rasanya saat melihat orangtuaku tersenyum
manis kepada Kak Dara bahkan Ibu mencium kening Kak Dara sebelum Kak Dara
berangkat kuliah hari ini, sedangkan kepadaku hanya menunjukkan tatapan sinis
yang sangat merendahkan aku.
“Aku merasa
bukan anak kandung mereka Cik…” kataku sambil melihat anak-anak kecil berlarian
berebut bola sepak.
“Bulan, Bulan…
berapa kali sih elo selalu bilang kayak gitu sama gue? Gue juga udah berulang
kali bilang, jangan berfikir seperti itu. buktinya sampai sekarang elo masih
dikasih makan, kan?! Gue juga kasihan sama elo, Lan. Kita temenan udah semenjak
kelas 5 SD, gue juga tahu betul gimana perlakuan orangtua elo. Gue hanya
berharap orangtua elo akan berubah. Dan gue hanya bisa menghibur elo. Terus…. Mereka
juga harus bisa menghargai seni…”
Aku tersenyum
sambil melihat Cika. Dia memang menyukai musik sama sepertiku. Tapi bedanya,
orangtuanya tidak melarang dia berekspresi. Mereka selalu menghargai apa yang
disukai Cika asalkan itu hal-hal yang positif. Di rumah Cika pulalah aku selalu
mengembangkan bakatku bermain gitar dan drum. Pikiran orangtuaku masih sangat
kolot. Mereka pikir menjadi anak band
itu dekat dengan hal-hal yang negative. Karena itulah mereka selalu memandang
rendah aku dan teman-temanku.
“Malam ini gue
nginep rumah elo ya?” tanyaku.
“Boleh…. Tapi,
apa elo enggak dicari orangtua elo?”
Aku tertawa
terbahak. “Dicari??? Buat apa mereka nyari gue?! Yang ada mereka enggak
peduli.”
Kemudian aku menghentikan
tawaku karena handphone ku berbunyi.
Setelah aku lihat di layar ponsel, Kak Dani yang menelfonku. Raut wajahku pun
segera berubah dingin dan dengan pelan kusapa Kakak sulungku itu.
“Iya hallo…”
“Lan, kamu dimana? Kak Dara di rumah sakit
sekarang. Dia kecelakaan.”
Aku terdiam.
Mataku berkaca-kaca. Tapi, aku masih enggan mengeluarkan kata-kata apa yang
ingin aku ucapkan.
“BULAN…. KAMU DENGAR KAKAK ENGGAK, SIH?!!!”
“Di ru….mah
sakit mana?” aku bertanya dengan terbata.
Mendengar aku
menyebutkan kata rumah sakit, Cika juga ikut terkejut.
*********
3 bulan
kemudian aku sudah tidak bisa melihat mentari di pagi hari. Aku donorkan mataku
untuk Kak Dara. Kecelakaan mobil yang dialami Kak Dara bersama pacarnya saat
itu membuat kedua retina matanya rusak parah dan membutuhkan donor mata.
Akhirnya aku putuskan untuk mendonorkan mataku untuk Kak Dara dan menghentikan
impianku menjadi musisi terkenal. Tapi, karena peristiwa itu ada sedikit hal
yang berubah. Yaitu Ayah dan Kak Dani, mereka lebih menyayangiku daripada dulu.
Bahkan Kak Dani lebih sering datang ke rumah, mengajakku ngobrol dan membawaku
jalan-jalan. Tapi, tidak dengan Ibuku dan Kak Dara. Mereka masih acuh padaku.
“Kalau Kak Dara
tidak bisa melihat nanti dia tidak bisa menjadi pengacara, Kak.” Kataku saat
Kak Dani membawaku jalan-jalan ke taman dekat rumah. Aku bisa mendengar isak
tangis Kak Dani. Lalu, dia merangkul kepalaku.
“Maafkan Kak
Dani, ya. Tapi, kamu juga tidak bisa menjadi musisi terkenal kalau kamu tidak
bisa melihat, kan?!”
“Aku bisa
mencobanya lagi. Lagipula… musisi tidak akan bisa dibanggakan. Berbeda dengan
seorang pengacara. Begitu kata Ibu. Kalian juga tidak butuh musisi di keluarga
kalian, kan?!” lanjutku dengan tersenyum.
“Jangan lagi
ingat-ingat ucapan itu, Lan. Kak Dani akan berusaha mencarikan donor kembali
untuk kamu.”
Aku hanya
tersenyum. Bukannya aku senang dengan ucapan Kak Dani, tapi aku hanya putus
asa. Sebagai adik dan anak yang pernah dikesampingkan. Selain Kak Dani dan
Ayah, juga ada Cika yang menghiburku dan membawakan gitar untukku untuk aku
mainkan.
Hari demi hari
berlalu. Aku merasakan hati ibu dan kak Dara semakin luluh. Kadang Ibu datang
ke kamarku membawakan buah ataupun cemilan dan Kak Dara juga menyuapiku. Tapi
aku selalu bilang, aku bisa melakukannya sendiri dan tidak mau merepotkan
mereka. Kadang itu membuat mereka kesal tapi juga membuat mereka merasa
bersalah.
Dan meskipun
aku buta, aku tidak ingin berhenti menjadi pemusik. Aku meminta bantuan kepada
Cika agar aku bisa terus bermain musik. Tapi, tetap saja diam-diam ibu bicara
kepada Cika untuk menjauhiku dan menjauhkanku dengan musik. Aku pernah
memergokinya bicara kepada Cika saat membawakan gitar ke rumahku. Itulah
terakhir kali aku bertemu Cika di rumah. Karena hal itulah aku putuskan untuk
pergi dari rumah dan pergi ke rumah Cika. Sebelumnya aku menulis surat kepada
ibuku sebagai ucapan pamit. Dan itu juga merupakan ucapan pamitku yang terakhir
kalinya. Saat di perjalanan ke rumah Cika yang biasa aku tempuh dengan berjalan
kaki memakai tongkatku, saat aku menyeberang jalan aku mendengar klakson mobil
yang semakin mendekatiku. Sesaat kemudian yang aku rasakan hanyalah hantaman
keras menerpa tubuhku. Sakit sekali rasanya dan setelah itu aku tidak tahu lagi
apa yang aku rasakan. Mataku terpejam dan pandanganku benar-benar gelap
seutuhnya. Tapi, aku bisa mendengar suara Cika berteriak berlari ke arahku.
*********
Aku sayang ibu. Aku sayang Ayah. Aku sayang Kak Dani dan
Kak Dara. Aku tidak mengerti kenapa Ibu bersikeras menjauhkanku dari hal yang
aku sukai. Jika ibu tidak ingin Cika menemuiku maka aku yang akan menemuinya.
Aku akan tinggal dengannya. Dan orangtuanya yang bisa menerima orang sepertiku.
Aku tidak ingin membebani kalian untuk mengurus orang buta sepertiku. Selamat
tinggal.
Bulan
“Bulan… kamu
masih tetap ada di dalam hati kita semua. Meskipun kamu hanya mengambil cahaya
dari mentari dan meskipun sinarmu tidak selalu penuh setiap malam, tapi kamu
masih bersinar. Mentarimu adalah rasa semangatmu dan ceriamu yang selalu kamu tunjukkan
padaku. Meskipun kamu sedih, tapi kamu tetap tersenyum padaku. Itulah sinarmu.”
Cika meletakkan kembali fotonya bersama Bulan saat mereka masih mengenakan
seragam SMA di atas meja, di samping lampu tidurnya. Kemudian dia terlelap.
oleh : Niken Tusiana